Ilahi...Kuawali tulisan ini dengan gemuruh di dada, terkenang semua
kisah yang tlah mengalir dalam alur kehidupanku. Bukan apa-apa..mungkin
tak istimewa..ataupun mendapat predikat luar biasa..namun karena-MU Ya
ILAHI...tersentuh hati ini menemukan segores tulisan yang
menggambarkan kecintaan luar biasa yang pernah di hadirkan di dunia
ini, maka dengan jiwa besar Qurrata~A'yun menyadurnya sebagai hadiah
tak layak namun insyaALLAH menoreh arti besar untuk semua orang yang
pernah dan sekarang hadir dalam hatiku..dan ditaqdirkan menjadi orang
yang kucintai..karena-NYA.
Ketika Rasulullah berada di hadapan,
Ku pandangi pesonanya dari kaki hingga ujung kepala
Tahukah kalian apa yang terjelma?
Cinta!
(Abu Bakar Shiddiq Radhiyallohu 'Anhu)
Gua Tsur.
Wajah Abu Bakar pucat pasi. Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar.
Tak
terasa tubuhnya bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu
melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik
berkatalah Abu Bakar.
“Wahai Rasul Allah, jika mereka melihat ke
kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”.
Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat
dekatnya ini pelan sambil berujar “Janganlah engkau kira, kita hanya
berdua.
Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan
maha, Allah”.
Sejenak
ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan
keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa.
Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat di sampingnya, keselamatan
di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang.
Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama.
Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam
mata
pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta
menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah
yang akan menghunjam setiap
jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, Muhammad, ya Muhammad.. mereka membunuh Muhammad.
***
Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dan keakraban
mempesona itu bukan sebuah kebohongan. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya
dalam
hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama.
Aduhai betapa ia mencintai putra Abdullah. Kelelahan yang mendera
setelah berperjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua.
Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia
rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.
Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar. Dan seperti
anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada yang
dapat memesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan
kedua
pahanya. Mata Rasulullah terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang
ibu, telapak tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah.
Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan sosok cinta yang
tengah beristirahat diam di pangkuannya. Sebuah asa mengalun dalam
hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu Bakar yang sangat dekat. Abu
Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika
wajahnya muram. Ia teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama
Madinah seperti memburu hewan buruan. Bagaimana mungkin mereka begitu keji
mengganggu cucu Abdul Muthalib, yang begitu santun dan amanah. Mendung di wajah Abu
bakar belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu
semerbak. “Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di
sampingmu, untuk membelamu dan tak akan membiarkan sesiapapun menganggumu”.
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Abu Bakar menyandarkan
punggung
di dinding gua. Rasulullah, masih saja mengalun dalam istirahatnya.
Dan tiba-tiba saja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki
Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali
ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun,
keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur
nyaman Rasulullah. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasih itu.
Abu
Bakar meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi
kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah
beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular
segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam.
Rasa sakit
itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai
pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan
tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga dan
menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini”
suara Rasulullah memenuhi udara Gua.
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun” potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?”
“Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat”
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak
“Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Saya
khawatir membangunkan engkau dari lelap” jawab Abu Bakar sendu.
Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air matanya
hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga.
Saat itu
air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Al-Musthafa
berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah
sebuah ukhuwah.
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang seperti mu
wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi
balasan”. Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-Musthafa
meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama
Allah pencipta semesta, Nabi mengusap bekas gigitan itu dengan
ludahnya. Maha suci Allah,seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu
Bakar segera menarik kakinya karena malu. Nabi masih memandangnya
sayang.
“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia indah seperti mu.
Bagaimana mungkin?” nyaring hati Abu Bakar kemudian.
Gua
Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat
dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika
Rasulullah menawarkan pangkuannya.
Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.
***
Kita
pasti tahu siapa Abu Bakar. Ia adalah lelaki pertama yang memeluk
Islam dan juga salah satu sahabat terdekat Rasulullah. Dari lembar
sejarah, kita kenang cinta Abu Bakar kepada Al- Musthafa menyemesta.
Kisah tadi terjadi pada saat ia menemani Rasulullah berhijrah menuju
Madinah dan harus menginap di Gua Tsur selama tiga malam. Menemani Nabi
untuk berhijrah adalah perjalanan penuh rintang. Ia sungguh tahu
akibat yang akan digenggamnya jika misi ini gagal. Namun karena cinta
yang berkelindan di kedalaman hatinya begitu besar, Abu Bakar dengan
sepenuh jiwa, raga dan harta, menemani sang Nabi pergi.
Dia terkenal karena teguh pendirian, berhati lembut, mempunyai iman yang kokoh dan
bijaksana.
Kekokohan imannya terlihat ketika Madinah kelabu karena satu kabar,
Nabi yang Ummi telah kembali kepada Yang Maha Tinggi. Banyak manusia
terlunta dan larut dalam lara yang sempurna. Bahkan Umar murka dan tidak
mempercayai kenyataan yang ada. Saat itu Abu Bakar tampil mengingatkan
seluruh sahabat dan menggaungkan satu khutbah yang mahsyur
“Ketahuilah, siapa yang menyembah Muhammad, maka ia telah meninggal
dunia.
Dan sesiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tidak mati”.
Kepergian
sang tercinta, tidak menyurutkan keimanan dalam dadanya. Ketiadaan
Rasulullah, jua tak memadamkan gebyar semangat untuk terus menegakkan
pilar-pilar Islam yang telah dipancangkan. Pada saat menjabat khalifah
pertama, ia dengan gigih memerangi mereka yang enggan berzakat. Tidak
sampai di situ munculnya beberapa orang yang mengaku sebagi nabi, sang
khalifah juga berlaku sama yaitu mengirimkan pasukan untuk mengajak
mereka kembali kepada kebenaran. Sesungguhnya pribadi Abu Bakar adalah
lemah lembut, namun ketika kemungkaran berada dihadapannya, ia berlaku
sangat tegas dalam memberantasnya.
Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, pada saat perang atas bangsa Romawi di Yarmuk
berkecamuk dengan kemenangan di tangan Muslim. Sebelum wafat, ia menetapkan Umar
sebagai
penggantinya. Jenazahnya dikebumikan di sebelah manusia yang paling
dicintainya, yaitu makam Rasulullah. Hidup Abu Bakar berhenti sampai di
sana, namun selanjutnya manusia yang menurut Rasulullah menjadi salah
seorang yang dijamin masuk surga, terus saja mengharumkan sejarah sampai
detik sekarang. Ia mencintai Nabinya melebihi dirinya sendiri.
Tidakkah itu mempesona?
Saudaraku..Demi ALLAH kuingin
cinta kita seperti kisah sejarah yang abadi ini...karena-NYA pula
kuucapkan..Sungguh kumencintaimu...
Sumber: http://qurratayun.blogspot.com