Kalau mau direnungkan secara mendalam, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan sederhana,
bahwa salah satu aktifitas yang paling sering kita lakukan dalam hidup
ini adalah memilih. Memilih salah satu dari dua alternatif atau
mungkin lebih. Mulai dari hal yang terkecil sampai hal-hal yang ruwet,
ternyata kita diperhadapkan dengan kenyataan, bahwa kita harus memilih.
Ketika
sepasang suami istri dikaruniai seorang anak, maka keduanyapun akan
sibuk memilih nama yang terbaik untuk sang buah hati. Ketika masuk usia
sekolah maka proses memilih akan berlanjut ke sekolah mana yang paling
baik untuk menjadi rumah kedua bagi sang anak. Ketika berusia dewasa
dan telah mampu menikah maka pilihan berumahtangga akan menjadikan sang
anak menjalani proses memilih calon pendamping hidup, sampai mungkin
melakukan sholat istikharah berkali-kali, sebelum menentukan
pilihan. Walakhir, sebagian di antara kita terutama mereka yang berada
di penghujung usia, bahkan telah memilih tempat di mana ia akan
dikuburkan ketika ajal telah menjemput. Makan, tempat tinggal,
kendaraan, pakaian dan segala atribut kehidupan, semuanya tidak lepas
dari sebuah proses memilih. Maka tidak salah, jika ada yang berkata
bahwa hidup ini adalah sebuah proses memilih dan dipilih.
Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam mengajarkan sekaligus mencontohkan bagaimana
cara memilih, memilih nama untuk anak, memilih calon suami atau istri,
memilih imam dalam sholat berjama’ah, memilih pemimpin, bahkan memilih
satu yang terbaik dari dua alternatif. Di dalam hadits dijelaskan:
“Apabila
Rasulullah diperhadapkan kepada dua pilihan, maka beliau akan memilih
yang termudah dari keduanya, selama ia bukan sebuah dosa, kalau ia
adalah dosa maka beliau adalah orang yang paling menjauhi perkara itu” (HR. Muslim)
Allah Ta’ala
pun ternyata memiliki hak mutlak untuk memilih diantara makhluk
ciptaan-Nya untuk diberikan keutamaan dibandingkan dengan makhluk-Nya
yang lain. Allah berfirman, yang artinya:
“ Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa apa yang Dia kehendaki (al-Qashash: 68)
Masjidil Haram di Mekkah, masjid Nabawi di
Madinah, masjid al-Aqsha di Palestina, adalah di antara tempat-tempat
yang mulia yang telah dipilih oleh Allah. Waktu sepertiga malam
terakhir, hari Jum’at, bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah adalah waktu-waktu yang dipilih dan ditetapkan oleh Allah
menjadi waktu yang memiliki keutamaan khusus yang tidak dimiliki oleh
waktu-waktu yang lain. Bahkan antara satu amalan dengan amalan yang
lainpun dibedakan oleh Allah Ta’ala. Dalam hadits Qudsi dijelaskan bahwa
ibadah puasa memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh amalan dan
ibadah ibadah yang lain, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, yang artinya:
“Setiap
amalan anak adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu amalan kebaikan
akan dilipatgandakan pahalanya antara sepuluh kebaikan sampai tujuh
ratus kebaikan. Allah Azza wa Jalla berkata: “Kecuali ibadah puasa,
karena sesungguhnya ia adalah milik-Ku dan Aku pun yang akan menentukan
besarnya pahala (puasa) itu” (HR. Muslim)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memilih kita menjadi salah satu dari sekian
banyak makhluk ciptaan-Nya, kemudian ia telah memilih kita untuk menjadi
seorang manusia, lantas menjadikan kita seorang yang berislam dan
beriman, memilih kita menjadi pengikut Nabi dan agama pilihan. Sebuah
nikmat agung yang patut untuk selalu diingat dan disyukuri.
Alhamdulillah, Allah Ta’ala tidak menjadikan kita makhluk dalam bentuk
yang lain, yang terkadang harus berada dalam posisi yang terhina dan
terpinggirkan. Menjadi seorang manusia saja, adalah nikmat pilihan yang
luar biasa, Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Dan
sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu adam, dan Kami angkut mereka
di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik,
dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan
dengan kelebihan yang sempurna”.(al-Isra’: 70)
Kian sempurna
pilihan tersebut, takkala Allah Ta’ala memilih kita menjadi pengikut
Nabi pilihan dan satu-satunya agama pilihan akhir zaman, Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Barang siapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi”. (al-Maidah: 85)
Menjadi
manusia pilihan, bukan hanya sekedar nikmat yang patut disyukuri, tapi
sekaligus ia mengandung konsekwensi dan tanggung jawab yang sangat
besar, yang sekaligus menjadi proses seleksi apakah ia benar-benar
pilihan atau hanya sekedar menyandang gelar tanpa prestasi yang
diinginkan oleh al-Khaliq Jalla wa ‘Ala.
Seorang muslim
ketika ia menyadari nikmat pemilihan tersebut, seharusnya melahirkan
sebuah kesiapan rohani dan jasmani, fisik dan mental untuk diatur dan
digembleng dalam aturan dan norma-norma pilihan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Ia tidak ragu untuk mendermakan hidupnya untuk di jalan Allah.
Ia siap untuk beraqidah, beribadah dan bermuamalah serta berakhlaq
sesuai dengan tuntunan sosok teladan manusia pilihan, Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Semua sendi-sendi kehidupannya tershibgah
(terwarnai) oleh nilai-nilai Ilahiyah murni nan luhur. Ia tidak pernah
malu untuk memproklamirkan dirinya bahwa ia adalah seorang Islam yang
memiliki izzah dengan agama pilihannya. Ia akan bersikap tegas
terhadap segala hal yang dapat menodai kesucian agama pilihan. Semboyan
hidupnya adalah “Sesunggunhya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya ku persembahkan kepada Rabb alam semesta”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Dan
tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan satu ketetapan, akan ada
pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan
kesesatan yang nyata. (al-Ahzab: 36)