ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله ولتنظر نفس ما قدمت لغد
“Wahai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS. al-Hasyr: 18)
Hidup
adalah perubahan dan perubahan adalah sebuah keniscayaan. Setiap yang
lahir akan mengalami perubahan mulai dari bentuk fisik, kemampuan akal,
sikap dan perilaku. Semuanya akan berubah seiring dengan pergeseran
waktu dan peralihan zaman. Bahkan makhluk lain disekeliling kitapun
mengalami hal yang sama. Dengan izin dan kehendak Allah, binatang buas
saja bisa berubah menjadi jinak, gunung yang kokoh yang dijadikan oleh
Allah sebagai pasak untuk bumi, bisa bergetar, berguncang dengan hebat.
Air laut yang terlihat tenang bisa berubah seketika menjadi ombak yang
besar. Gempa yang terjadi di mana-mana tanpa dapat diprediksi
sebelumnya, hatta oleh kekuatan tekhnologi tercanggih sekalipun, adalah bukti yang mengharuskan kita untuk mengimani sebuah perubahan.
Bagi
kita seorang muslim, keimanan adalah sebuah bukti nyata akan perubahan
itu sendiri. Iman yang didefinisikan sebagai keyakinan yang mendalam
di hati, diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan lewat amal nyata,
ternyata juga mengalami perubahan. Ia akan bertambah dengan ketaatan
dan akan mengalami kemunduran dan pengurangan seiring dengan banyaknya
kemaksiatan yang dilakukan. Maka mengutip sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam tak kala beliau menggambarkan fenomena fitnah akhir
zaman, beliau berkata: “Seseorang (pada saat itu) di kala pagi masih
beriman namun di sore hari ia telah berubah menjadi kafir, ia menjual
agamanya dengan (harga) dunia yang tak pantas” (HR. Muslim No. 118 ),
semakin mengantarkan kita kepada haqqul yaqin akan keniscayaan sebuah perubahan itu.
Permasalahannya,
apakah kita mau berubah atau tidak? Dan kalaupun kita berubah ke mana
arah perubahan itu sendiri, apakah ke hal-hal yang positif dan
bermanfaat untuk dunia dan akhirat kita, atau justru sebaliknya?. Allah
Ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Al-Ra'ad: 11)
Konteks
perubahan dalam ayat ini difahami dari dua sisi, yang pertama:
Perubahan tersebut mutlak berada dalam aturan takdir Ilahiyah, ia tidak
dapat dipisahkan dari kehendak Yang Maha Kuasa. Kedua: Bahwa perubahan
itu juga bergantung kepada ikhtiar seorang hamba, ia berani bersikap
dan memutuskan untuk merubah dirinya atau tidak?. Dari sini, kita bisa
memahami kekeliruan sebagian di antara kita dalam menyikapi sikap “pasrah/tawakkal” terhadap ketentuan dan takdir Allah Ta’ala. Sejatinya, sikap pasrah dan tawakkal adalah sebuah marhalah
(jenjang) di mana seorang hamba telah melakukan berbagai ikhtiar yang
dibenarkan menurut syariat atau akal sehat dalam mencapai sebuah
tujuan.
Risalah Islam adalah risalah pembawa misi perubahan, dalam sisi ubudiyah Islam mengantarkan pengikutnya untuk tunduk dan taat secara kaffah kepada
Allah Ta’ala, seperti ucapan panglima Rib’i Ibn ‘Amir takkala ia
berkata dengan lantang di hadapan Raja “Kami datang untuk membebaskan
manusia dari penghambaan kepada sesama hamba menuju penghambaan kepada
Rab para hamba”. Tak kala hebatnya dari sisi akhlaq, Islam membawa
pencerahan terhadap sikap dan perilaku jahiliyah dengan tatanan akhlaq
mulia yang menempatkan seorang manusia pada derajat kemanusiaannya yang
hakiki. Terbukti, bagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam Sang
Tauladan mampu merubah karakter para pengikutnya menjadi
manusia-manusia pilihan yang setiap dari mereka memiliki keunggulan dan
karakter yang membawa perubahan dalam perjalanan kehidupan manusia,
mereka adalah para sahabat agen-agen perubahan yang setia untuk
mengawal dan menjadi saksi setiap detik-detik perubahan hingga mencapai
puncak kesempurnaannya.
Maka
mengapa kita sungkan untuk berubah ke arah yang lebih baik? Bukankah
kita selalu bernafsu untuk merubah status ekonomi kita ke taraf yang
lebih dari yang sebelumnya?, setiap peluang kita sambar dengan cepat
demi untuk memuaskan syahwat maliyah (harta) kita?. Sebagaimana
Sabda nabi Shallallahu’alaihi wasallam: “Kalau seandainya seorang anak
adam memiliki emas seluas satu lembah, niscaya ia menginginkan lembah
yang kedua” (HR. Muslim No. 1084). Mengapa semangat ini kita tidak
tularkan pada sisi-sisi lain yang jauh lebih penting dan bernilai dari
pada harta?. Mengapa kita tak
mengambil ibroh dari kisah taubatnya seorang pembunuh yang telah
membunuh 100 jiwa manusia, tetapi semangat dan keinginan untuk berubah
mengantarkannya kepada husnul khatimah, menjadi manusia tauladan yang kisahnya dibaca oleh generasi sesudahnya (lih. HR. al-Bukhori No. 3283 & Muslim No. 2766).
Suasana
Imaniyah kita seharusnya terus terjaga untuk selalu hidup, meskipun
kita sadari tak sedikit rintangan yang harus dihadapi hingga terkadang
mengalami penurunan, tapi itu sebuah kewajaran. Yang tidak wajar adalah,
membiarkannya terus menerus terkikis tanpa ada ikhtiar untuk melakukan
upaya ishlah (perbaikan). Karena hidup harus berubah, maka tidak ada kata terlambat untuk mulai berbenah dari sekarang. Wallahu Ta’ala A’lam.