Ada 1.000.000 pembaca Rss Feed sudah bergabung, Sudahkah anda?

Berbagi Kebaikan Untuk Kemaslahatan Ummat

Sabtu, 12 Mei 2012

Bersikap Santun kepada Fir'aun

Siapa yang tidak kenal Fir'aun?, sosok manusia yang namanya diabadikan oleh Allah berkali-kali dalam al-Qur'an  melebihi penyebutan nama dan kisah sebagian dari pada Nabi dan Rasul-Nya. Bukan karena prestasi ketaatan dan ketundukan, tapi karena sederet kisah kesombongan, keangkuhan, kebengisan dan hal-hal keji yang lain yang sulit untuk dirangkai dengan kata-kata sederhana.
Dengan segala kesombongan ia memproklamirkan dirinya adalah tuhan yang patut  disembah, seraya menafikan Rab Yang Maha Mulia. "Dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagi kalian selain aku" (al-Qashash: 38) . Sebagai penguasa, ia mengklaim bahwa Mesir dan seluruh kekayaannya berada dan tunduk dalam kekuasaanya. "Dan Fir'aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: "Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku, maka apakah kalian tidak melihatnya?" (al-Zukhruf: 51). Bahkan dengan segala kekuatan yang dimilikinya, diktator nomor wahid ini melarang seseorang untuk berpaling darinya dan beriman  kepada Allah Yang Haq kecuali dengan izinnya yang disertai dengan ancaman-ancaman yang menakutkan. "Berkata Fir'aun: "Apakah kalian telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepada kalian…… Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kalian dengan bersilang secara bertimbal balik dan aku akan menyalib kalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kalian akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksaanya" (Thaha: 71). Di ayat yang lain, "Fir'aun berkata: "Sungguh jika kamu menyembah selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan" (al-Syu'araa: 29).
Lebih dari itu, terkadang dengan santainya ia melecehkan uluhiyah dan rububiyah al-Khaliq Yang Maha Tinggi dan Agung. "Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, bangunkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu.  (Yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sungguh aku menyangka ia adalah seorang pendusta" (al-Mu'min: 36-37). Tentu Fir'aun tidak sedang serius ketika mengucapkan kalimat ini, karena Haman (sang mentri) pasti tidak mampu mengerjakan proyek bualan ini, tetapi ia ingin melecehkan Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Agung. Na'udzu billah min dzalik.
Kalau kapada Allah Ta'ala saja dengan mudahnya ia lecehkan, maka apalagi hanya dengan utusan-Nya (Musa 'Alaihissalam). "Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak mampu menjelaskan (perkataannya)" (al-Zukhruf: 52). Bahkan, terkadang ia menampakkan rasa iba dan simpati kepada rakyatnya untuk mencari pembenaran untuk menghukum bahkan membunuh Musa 'Alaihissalam yang dianggapnya sebagai pembangkang dan penghalang kekuasaannya. "Dan berkata Fir'aun: "Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agama kalian dan menimbulkan kerusakan di muka bumi" (al-Mu'min: 26).
Inilah secuil dari deretan kisah kedurhakaan Fir'aun yang berulang-ulang disebutkan di dalam berbagai surah dalam al-Qur'an. Maka sangatlah amat wajar jika segala umpatan dan cacian kasar dialamatkan kepadanya.
Tetapi manhaj Ilahi tetaplah manhaj yang tetap kekal dan segar tanpa harus mengalami pergeseran makna. Manhaj yang mengajarkan kepada kita keluhuran budi pekerti, sopan santun dalam berbuat, berprilaku dan berkata-kata. Manhaj ini bukanlah sekedar untaian kata-kata indah, bukan teori yang muluk-muluk, melainkan manhaj yang harus diterjemahkan secara nyata dalam lapangan kehidupan. Ia harus menjadi warna yang cerah di tengah warna-warni yang kelam. Ia adalah  manhaj yang sangat berpihak dan paling memahami fitrah kemanusiaan di tengah-tengah carut marutnya qanun wadh'iy (aturan manusia) yang konon katanya paling faham arti hak asasi manusia dengan segala embel-embelnya.
Tetapi, dengan segala keburukan track record yang dimiliki oleh Fir'aun, Allah mengutus kepadanya Nabi Musa dan Harun 'Alaihimassalam untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan penuh kesantunan, kearifan dan kelembutan tanpa harus mengikis mabda'  (prinsip dasar) yang diyakini kebenarannya. Allah Ta'ala berfirman : "Pergilah kalian berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut" (Thaha: 43-44). Dalam ayat yang lain, "Pergilah kamu kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Dan katakanlah : "Adakah keinginan pada dirimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)"  (al-Nazi'at: 17-18).
Inilah manhaj al-Rifq, manhaj yang mengajarkan kepada kita bersikap santun dalam berbuat dan berkata-kata. Bersikap santun dengan mengedepankan akhlaq mulia. Bersikap santun dalam mencarikan solusi yang terbaik dan termudah. Bersikap santun dalam memahami tabiat dan karakter orang lain. Begitulah ruang lingkup makna al-rifq seperti yang dikemukakan penulis kamus Mukhtar al-Shihah.
Dalam sirah Sang Panutan Shallallahu'alaihi wasallam, betapa terasa manhaj ini hadir dan terus mengalir dalam berbagai kondisi dan obyek dakwah. Betapa tidak, beliau menjadi penengah yang bijak takkala seorang arab badui (yang memang bertabiat kasar) kencing di salah satu pojok mesjid tanpa merasa bersalah. Beliau menjadi guru yang sangat santun ketika mengajarkan sahabat Muawiyah ibn Hakam yang terjatuh dalam kesalahan –yaitu berbicara- ketika sholat telah dilakukan. Bahkan, kepada pemuda yang datang meminta izin kepadanya untuk berzina, Beliau manjadi pendengar yang baik dan santun sekaligus memberikan solusi logis yang tak terbantahkan. Bahkan suatu ketika, beliau menceritakan kisah seorang wanita yang diazab oleh Allah karena menyiksa dan tidak bersikap santun  kepada seekor kucing.
Sunguh tepat kalau Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Hendaklah engkau bersikap lembut dan hindarilah bersikap keras dan kasar, karena tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan menambah indah sesuatu itu, dan tidaklah (kelembutan) itu dicabut dari sesuatu kecuali akan menambah jelek sesuatu itu" (HR. Muslim). Dalam sabdanya yang lain Beliau berkata: "Barang siapa yang tidak memiliki kelembutan maka ia diharamkan dari seluruh kebaikan" (HR. Muslim). Teori dan aplikasi kesantunan yang luar biasa yang wajib dicontoh oleh setiap muslim.
Dalam dunia dakwah, betapa setiap da'i sangat membutuhkan kehadiran al-rifq dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Ia membutuhkannya ketika ia berhadapan dengan orang tua, muda bahkan kepada anak kecil,  kepada pendosa apalagi kalau memang  sudah taat, hatta kepada siapapun, karena manusia tetaplah manusia, sebejat apapun ia masih memiliki perasaan yang bertemu dalam satu titik, semua ingin diperlakukan secara santun, bukan dengan sikap kasar apalagi sampai mencaci dan mengumpat.
Kiranya, wejangan Sufyan al-Tsauri Rahimahullah patut untuk dijadikan pijakan, beliau berkata: "Seseorang tidak pantas untuk beramar ma'ruf nahi munkar kecuali jika telah memenuhi tiga karakteristik, bersikap lembut terhadap apa yang  ia serukan dan ia larang, bersikap adil terhadap yang ia serukan dan ia larang dan berilmu terhadap yang ia serukan dan ia larang". Allah Ta'ala berfirman: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka" (al-Imran: 159). Wallahua'lam.
 oleh: Ahmad Hanafi
StumpleUpon DiggIt! Del.icio.us Blinklist Yahoo Furl Technorati Simpy Spurl Reddit Google Twitter FaceBook

Memilih dan Dipilih Oleh: Ahmad Hanafi

Kalau mau direnungkan secara mendalam, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan  sederhana, bahwa salah satu aktifitas yang paling sering kita lakukan dalam hidup ini adalah memilih. Memilih salah satu dari dua alternatif atau mungkin lebih. Mulai dari hal yang terkecil sampai hal-hal yang ruwet, ternyata kita diperhadapkan dengan kenyataan, bahwa kita harus memilih.

Ketika sepasang suami istri dikaruniai seorang anak, maka keduanyapun akan sibuk memilih nama yang terbaik untuk sang buah hati. Ketika masuk usia sekolah maka proses memilih akan berlanjut ke sekolah mana yang paling baik untuk menjadi rumah kedua bagi sang anak. Ketika berusia dewasa dan telah mampu menikah maka pilihan berumahtangga akan menjadikan sang anak menjalani proses memilih calon pendamping hidup, sampai mungkin melakukan sholat istikharah berkali-kali, sebelum menentukan pilihan. Walakhir, sebagian di antara kita terutama mereka yang berada di penghujung usia, bahkan telah memilih tempat di mana ia akan dikuburkan ketika ajal telah menjemput. Makan, tempat tinggal, kendaraan, pakaian dan segala atribut kehidupan, semuanya tidak lepas dari sebuah proses memilih. Maka tidak salah, jika ada yang berkata bahwa hidup ini adalah sebuah proses memilih dan dipilih.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengajarkan sekaligus mencontohkan bagaimana cara memilih, memilih nama untuk anak, memilih calon suami atau istri, memilih imam dalam sholat berjama’ah, memilih pemimpin, bahkan memilih satu yang terbaik dari dua alternatif. Di dalam hadits dijelaskan:
 “Apabila Rasulullah diperhadapkan kepada dua pilihan, maka beliau akan memilih yang termudah dari keduanya, selama ia bukan sebuah dosa, kalau ia adalah dosa maka beliau adalah orang yang paling menjauhi perkara itu” (HR. Muslim)

Allah Ta’ala pun ternyata memiliki hak mutlak untuk memilih diantara makhluk ciptaan-Nya untuk diberikan keutamaan dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain. Allah berfirman, yang artinya:
“ Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa  apa yang Dia kehendaki (al-Qashash: 68)
Masjidil Haram di Mekkah, masjid Nabawi di Madinah, masjid al-Aqsha di Palestina, adalah di antara tempat-tempat yang mulia yang telah dipilih oleh Allah. Waktu sepertiga malam terakhir, hari Jum’at, bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah waktu-waktu yang dipilih dan ditetapkan oleh Allah menjadi waktu yang memiliki keutamaan khusus yang tidak dimiliki oleh waktu-waktu yang lain. Bahkan antara satu amalan dengan amalan yang lainpun dibedakan oleh Allah Ta’ala. Dalam hadits Qudsi dijelaskan bahwa ibadah puasa memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh amalan dan ibadah ibadah yang lain, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya:
“Setiap amalan anak adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu amalan kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya antara sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kebaikan. Allah Azza wa Jalla berkata: “Kecuali ibadah puasa, karena sesungguhnya ia adalah milik-Ku dan Aku pun yang akan menentukan besarnya pahala (puasa) itu” (HR. Muslim)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih kita menjadi salah satu dari sekian banyak makhluk ciptaan-Nya, kemudian ia telah memilih kita untuk menjadi seorang manusia, lantas menjadikan kita seorang yang berislam dan beriman, memilih kita menjadi pengikut Nabi dan agama pilihan. Sebuah nikmat agung yang patut untuk selalu diingat dan disyukuri. Alhamdulillah, Allah Ta’ala tidak menjadikan kita makhluk dalam bentuk yang lain, yang terkadang harus berada dalam posisi yang terhina dan terpinggirkan. Menjadi seorang manusia saja, adalah nikmat pilihan yang luar biasa, Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”.(al-Isra’: 70)

Kian sempurna pilihan tersebut, takkala Allah Ta’ala memilih kita menjadi pengikut Nabi pilihan dan satu-satunya agama pilihan akhir zaman, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Barang siapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi”. (al-Maidah: 85)
Menjadi manusia pilihan, bukan hanya sekedar nikmat yang patut disyukuri, tapi sekaligus ia mengandung konsekwensi dan tanggung jawab yang sangat besar, yang sekaligus menjadi proses seleksi apakah ia benar-benar pilihan atau hanya sekedar menyandang gelar tanpa prestasi yang diinginkan oleh al-Khaliq Jalla wa ‘Ala.

Seorang muslim ketika ia menyadari nikmat pemilihan tersebut, seharusnya melahirkan sebuah kesiapan rohani dan jasmani, fisik dan mental untuk diatur dan digembleng dalam aturan dan norma-norma pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia tidak ragu untuk mendermakan hidupnya untuk di jalan Allah. Ia siap untuk beraqidah, beribadah dan bermuamalah serta berakhlaq sesuai dengan tuntunan sosok teladan manusia pilihan, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Semua sendi-sendi kehidupannya tershibgah (terwarnai) oleh nilai-nilai Ilahiyah murni nan luhur. Ia tidak pernah malu untuk memproklamirkan dirinya bahwa ia adalah seorang Islam yang memiliki izzah dengan agama pilihannya. Ia akan bersikap tegas terhadap segala hal yang dapat menodai kesucian agama pilihan. Semboyan hidupnya adalah “Sesunggunhya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya ku persembahkan kepada Rabb alam semesta”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan satu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata. (al-Ahzab: 36)
StumpleUpon DiggIt! Del.icio.us Blinklist Yahoo Furl Technorati Simpy Spurl Reddit Google Twitter FaceBook

Karena Hidup Harus Berubah Oleh : Ahmad Hanafi

Allah Ta’ala berfirman:
ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله ولتنظر نفس ما قدمت لغد
“Wahai orang-orang  beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS. al-Hasyr: 18)
Hidup adalah perubahan dan perubahan adalah sebuah keniscayaan. Setiap yang lahir akan mengalami perubahan mulai dari bentuk fisik, kemampuan akal, sikap dan perilaku. Semuanya akan berubah seiring dengan pergeseran waktu dan peralihan zaman. Bahkan makhluk lain disekeliling kitapun mengalami hal yang sama. Dengan izin dan kehendak Allah, binatang buas saja bisa berubah menjadi jinak, gunung yang kokoh yang dijadikan oleh Allah sebagai pasak untuk bumi, bisa bergetar, berguncang dengan hebat. Air laut yang terlihat tenang bisa berubah seketika menjadi ombak yang besar. Gempa yang terjadi di mana-mana tanpa dapat diprediksi sebelumnya, hatta oleh kekuatan tekhnologi tercanggih sekalipun, adalah bukti yang mengharuskan kita untuk mengimani sebuah perubahan.
Bagi kita seorang muslim, keimanan adalah sebuah bukti nyata akan perubahan itu sendiri. Iman yang didefinisikan sebagai keyakinan yang mendalam di hati, diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan lewat amal nyata, ternyata juga mengalami perubahan. Ia akan bertambah dengan ketaatan dan akan mengalami kemunduran dan pengurangan seiring dengan banyaknya kemaksiatan yang dilakukan. Maka mengutip sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tak kala beliau menggambarkan fenomena fitnah akhir zaman, beliau berkata: “Seseorang (pada saat itu) di kala pagi masih beriman namun di sore hari ia telah berubah menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan (harga) dunia yang tak pantas” (HR. Muslim No. 118 ), semakin mengantarkan kita kepada haqqul yaqin akan keniscayaan sebuah perubahan itu.
Permasalahannya, apakah kita mau berubah atau tidak? Dan kalaupun kita berubah ke mana arah perubahan itu sendiri, apakah ke hal-hal yang positif dan bermanfaat untuk dunia dan akhirat kita, atau justru sebaliknya?. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Al-Ra'ad: 11)
Konteks perubahan dalam ayat ini difahami dari dua sisi, yang pertama: Perubahan tersebut mutlak berada dalam aturan takdir Ilahiyah, ia tidak dapat dipisahkan dari kehendak Yang Maha Kuasa. Kedua: Bahwa perubahan itu juga bergantung kepada ikhtiar seorang hamba, ia berani bersikap dan memutuskan untuk merubah dirinya atau tidak?. Dari sini, kita bisa memahami kekeliruan sebagian di antara kita dalam menyikapi sikap “pasrah/tawakkal” terhadap ketentuan dan takdir Allah Ta’ala.  Sejatinya, sikap pasrah dan tawakkal adalah sebuah marhalah (jenjang) di mana seorang hamba telah melakukan berbagai ikhtiar yang dibenarkan menurut syariat atau akal sehat dalam mencapai sebuah tujuan.
Risalah Islam adalah risalah pembawa  misi perubahan, dalam sisi ubudiyah Islam mengantarkan pengikutnya untuk tunduk dan taat secara kaffah kepada Allah Ta’ala, seperti ucapan panglima Rib’i Ibn ‘Amir takkala ia berkata dengan lantang di hadapan Raja “Kami datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama hamba menuju penghambaan kepada Rab para hamba”. Tak kala hebatnya dari sisi akhlaq, Islam membawa pencerahan terhadap sikap dan perilaku jahiliyah dengan tatanan akhlaq mulia yang menempatkan seorang manusia pada derajat kemanusiaannya yang hakiki. Terbukti, bagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam Sang Tauladan mampu merubah karakter para pengikutnya menjadi manusia-manusia pilihan yang setiap dari mereka memiliki keunggulan dan karakter yang membawa perubahan dalam perjalanan kehidupan manusia, mereka adalah para sahabat agen-agen perubahan yang setia untuk mengawal dan menjadi saksi setiap detik-detik perubahan hingga mencapai puncak kesempurnaannya.
Maka mengapa kita sungkan untuk berubah ke arah yang lebih baik? Bukankah kita selalu bernafsu untuk merubah status ekonomi kita ke taraf yang lebih dari yang sebelumnya?, setiap peluang kita sambar dengan cepat demi untuk memuaskan syahwat maliyah (harta) kita?. Sebagaimana Sabda nabi Shallallahu’alaihi wasallam: “Kalau seandainya seorang anak adam memiliki emas seluas satu lembah, niscaya ia menginginkan lembah yang kedua” (HR. Muslim No. 1084). Mengapa semangat ini kita tidak tularkan pada sisi-sisi lain yang jauh lebih penting dan bernilai dari pada harta?.  Mengapa kita tak mengambil ibroh dari kisah taubatnya seorang pembunuh yang telah membunuh 100 jiwa manusia, tetapi semangat dan keinginan untuk berubah mengantarkannya kepada husnul khatimah, menjadi manusia tauladan yang kisahnya dibaca oleh generasi sesudahnya  (lih. HR. al-Bukhori No. 3283 & Muslim No. 2766).
Suasana Imaniyah kita seharusnya terus terjaga untuk selalu hidup, meskipun kita sadari tak sedikit rintangan yang harus dihadapi hingga terkadang mengalami penurunan, tapi itu sebuah kewajaran. Yang tidak wajar adalah, membiarkannya terus menerus terkikis tanpa ada ikhtiar untuk melakukan upaya ishlah (perbaikan). Karena hidup harus berubah, maka tidak ada kata terlambat untuk mulai berbenah dari sekarang. Wallahu Ta’ala A’lam.

StumpleUpon DiggIt! Del.icio.us Blinklist Yahoo Furl Technorati Simpy Spurl Reddit Google Twitter FaceBook

Nasehat seorang guru kepada muridnya, saat akan mengajarkan bab Tauhid

Muridku yang kucintai, sebelum kita memulai kajian ini, perhatikanlah apa yang ingin aku wasiatkan.

Tulis, hafalkan dan amalkanlah pelajaran ini.

Inilah pelajaran yang sangat penting. Karena untuk memperjuangkan aqidah inilah para Nabi dan Rasul diutus Allah. Perjuangan yang telah dilanjutkan oleh seluruh pejuang Islam sepanjang masa. Semoga aku dan engkau termasuk di dalamnya. Karena Aqidah inilah mereka dimusuhi, diusir dan diperangi. Karena aqidah inilah mereka akan dikumpulkan di syurga kelak. Semoga aku dan engkau pula termasuk di dalamnya.

Jangan pernah kau gadaikan aqidahmu dengan apapun. Apalagi hanya dengan sekeping dunia yang hina. Jangan pernah lupakan bahwa asasmu bergerak adalah Islam. Hanya Islam. Tidak pernah yang lain.

Dengan kajian ini aku berharap, engkau memahami siapa kawanmu. Siapa lawanmu. Siapa yang harus kau cintai. Siapa yang harus kau jauhi.

Dengan kajian ini aku berharap, engkau memahami bahwa tugas kita di dunia ini hanyalah beribadah. Kita tidak disuruh selain beribadah. Ibadah yang berarti engkau menyembah Allah dengan ta'at, tunduk, patuh, pasrah kepada ketentuan Allah. Karena itu perhatikanlah niat ibadahmu. Berharaplah hanya kepada rahmat-Nya saat engkau beribadah, seperti halnya engkau takut dan cinta hanya kepada-Nya. Tidak selain kepada Allah.

Untuk itu dengan kajian ini aku berharap, engkau tidak memiliki ambisi apapun saat hidup di dunia ini, selain ambisi untuk mendapatkan rahmat dan cinta Nya, serta terlepas dari kebencian-Nya.

Muridku yang kucintai. Sungguh kemenangan perjuangan kita tidak ditentukan oleh akal dan usaha kita. Kemenangan da'wah ini hanya ditentukan dengan turunnya cinta Allah kepada kita. Karena itu baguskanlah ibadahmu, agar Allah mencintaimu. Ikutilah sunnah Nabimu, agar engkau mudah dan benar dalam ber'ibadah.

Muridku, jika engkau memahami yang aku ucapkan, legalah dadaku. Karena itu berarti aku telah sampaikan apa yang para Rasul dan Anbiyaa sampaikan.

Semoga Allah kumpulkan kita bersama nanti di syurga. Bersama dengan Nabi kita yang Mulia. Muhammad shallaLlahu 'alayhi wa sallam. Kita akan duduk bersama dengan beliau di samping telaga al-haudh. Meminum air dari telaga tersebut. Air telaga yang lebih putih daripada susu. Lebih manis daripada madu. Siapa yang meminumnya tidak akan haus lagi selama-lamanya. Dan saat itulah kita baru beristirahat.

Amin.

(Mengenang guru-guruku yang mengajarkan aqidah. Semoga Allah melindungi mereka semua. Mengokohkan keimanan mereka. Mengumpulkan kita dalam barisan pejuang aqidah, di dunia dan akhirat. Seakan-akan merekalah yang telah mengucapkan wasiat ini kepadaku.)

Komunitas Era Muslim (KEM),26 Mei 2011.
StumpleUpon DiggIt! Del.icio.us Blinklist Yahoo Furl Technorati Simpy Spurl Reddit Google Twitter FaceBook

Do’a Sholat Istikharah

اللهم إني أستخيرك بعلمك, وأستقدرك بقدرتك, وأسألك من فضلك العظيم، فإنك تقدر ولا أقدر، وتعلم ولا أعلم، وأنت علام الغيوب، اللهم إن كنت تعلم أن هذا الأمر – ويسمي حاجته – خير لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري (أو قال : عاجله وآجله) فاقدره لي ويسره لي ثم بارك لي فيه، وإن كنت تعلم أن هذا الأمر شر لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري (أو قال : عاجله وآجله)، فاصرفه عني واصرفني عنه واقدر لي الخير حيث كان ثم أرضني به.
Artinya:
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu, dengan ilmu-Mu, dan aku memohon kuasa-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan kekuasaan yang Engkau miliki. Aku memohon anugrah-Mu yang luas, Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa sedangkan aku tidak memilki kuasa, Engkau Maha Tahu sedang aku tidak mengetahuinya, dan Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara ghaib. Ya Allah apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini …. (disebutkan hajatnya), baik untuk agamaku, kehidupanku dan penghujung urusanku (atau beliau berkata: dunia dan akhirat) maka takdirkanlah ia untukku, mudahkanlah urusannya, kemudian berkahilah aku dalam menjalaninya.  Tetapi, apabila Engkau Mengetahui bahwa urusan ini berbahaya untuk agamaku, kehidupanku dan penghujung urusanku (atau beliau berkata: dunia dan akhirat) maka jauhkanlah ia dariku, dan jauhkanlah diriku darinya, dan takdirkanlah yang lebih baik untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian ridhoilah tatkala menjalaninya”. (HR. al-Bukhori No. 1109)
Manusia adalah makhluk yang lemah, tak memiliki kuasa terhadap segala urusan hatta yang menyangkut dengan dirinya sendiri. Ketika ia diperhadapkan oleh sebuah masalah yang mengharuskan untuk memilih, terkadang ia tak bisa memutuskan, ia merasa bimbang dan ragu.
Olehnya itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita do’a istikharah yaitu permohonan kepada Allah untuk memberikan petunjuk tentang urusan, masalah yang dihadapi. Do’a ini dianjurkan untuk dibaca pada saat setelah melaksanakan sholat dua rakaat (selain sholat fardhu)  sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu’alaihi wasallam tatkala mengajarkan do’a ini:
“Dari Jabir Radhiyallahu’anhu beliau berkata: Nabi Shallallahu’alaihi wasallam mengajarkan kami istikharah (do’a minta petunjuk) dalam segala urusan sebagaimana beliau mengajarkan satu surah dalam al-Qur’an. Beliau berkata: “Apabila salah seorang diantara kalian mennghadapi masalah yang membuatnya bimbang hendaklah ia sholat dua raka’at seklain sholat fardhu kemudioan hendaklah ia berdo’a….” (HR. al-Bukhori No. 1109)
Sebagaimana do’a ini juga bisa dibaca sesaat sebelum salam dalam sholat dua raka’at  seperti yang disebutkan tadi setelah membaca do’a tasyahhud akhir.
Beberapa pelajaran penting dari do’a ini:
Pentingnya berdo’a dalam setiap keadaan.
Do’a adalah senjata seorang muslim, semakin sering ia meminta kepada Allah, maka Allah semain senang dengan permohonannya. Allah murka terhadap hamba-Nya yang melalaikan do’a kepada-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang tidak berdo’a kepada Allah, Maka Dia murka kepada-Nya” (HR. al-Turmudzi: 3373)
Berdo’a mengisyaratkan kebutuhan kita akan pertolongan Allah Ta’ala. Disamping itu, dengan berdo’a tentunya ia telah menjaga hubungannya dengan al-Khaliq Azza Wa Jalla.
Do’a disyariatkan dalam segala keadaan, baik tatkala kita senang, bahagia apalagi ketika kita berda dalam kesulitan dan ditimpa musibah. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Ingatlah Allah dikala sukamu niscaya Dia mengingatmu dikala dukamu” (HR. Ahmad No. 2804)
Allah Maha Berkuasa terhadap urusan hamba-Nya.
Apapun yang terjadi dalam diri seorang hamba, semuanya adalah kehendak Allah, baik hal itu menyenangkan atau menyulitkan. Olehnya itu, diantara rukun Iman yang wajib diyakini dan diamalkan adalah beriman kepada takdir baik dan buruk. keimanan terhadap rukun ini akan melahirkan sikap husnudzan (berbaik sangka) kepada Allah Ta’ala. Dalam hadits Qudsi disebutkan:
“Sesungguhnya Aku mengikut terhadap persangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku (HR. al-Bukhori No. 6907)
Begitujuga dengan perbuatan seorang hamba, ia diatur dan dibentuk sesuai dengan takdir dan kehendak-Nya, Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Dan Allah Yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat” (QS. al-Shaffaat: 96).
Tetapi hal ini tidak menutup pintu ikhtiar seorang manusia. Kita tetap diperintahkan berusaha dan berupaya terhadap segala hal, namun semuanya kita pasrahkan kepada Allah Ta’ala karena segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya. Rasulullah menggambarkan bagaimana sikap tawakkal yang disertai dengan ikhtiar seperti seekor burung,  beliau bersabda:
“Kalau seandainya kalian bertawakkal dengan tawakkal yang sebenarnya, niscaya Allah akan mencurahkan rezeki-Nya kepada kalian, sebagiamana seekor burung yang terbang dari sarangnya pada pagi hari dalam keadaan lapar dan pada petang hari ia pulang dalam keadaan kenyang” (HR. Ahmad  No. 205)
Hal ini juga tidak bermakna seseorang dilarang meminta pendapat dan saran serta pertimbangan orang lain, justru perkara ini disyariatkan dalam agama, Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka (para sahabat) dalam urusan itu. Bila kamu membulatkan tekad, bertawakkah kepada Allah” (QS. Ali Imran: 159).
Pilihan Allah yang terbaik.
Bagi seorang muslim pilihan Allah adalah yang terbaik. Apa yang ditakdirkan oleh Allah, sesuai dengan keinginan kita ataupun tidak itulah yang terbaik. Terkadang baik menurut kita tetapi dalam pandangan Allah justru akan mendatangkan kemudharatan, begitu juga sebaliknya. Allah berfirman yang artinya:
 “Dan boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal itu amat baik buat kalian, dan boleh jadi kalian menyenangi sesuatu padahal itu amat buruk buat kalian. Allah Maha Mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui” (Qs. al-Baqarah: 216)
Sikap seperti inilah yang akan membimbing setiap muslim menuju puncak maqam  (kedudukan) ar-ridho kepada Allah dalam setiap musibah dan kesulitan yang ditakdirkan untuknya. Ia tidak sekedar hanya bersabar tetapi lebih dari pada itu ia seakan-akan “menikmati” musibah dan ujian itu, karena dalam keyakinannya itulah yang terbaik.
Mendahulukan kepentingan agama dalam setiap urusan kita.
Persoalan agama haruslah ditempatkan di atas segala-galanya, jangan sampai hanya sekedar mencari kebahagian dunia yang bersifat sementara justru mengorbankan kepentingan agama dan akhirat kita yang bersifat permanen. Jangan sampai kita terjebak dalam gaya hidup sebagian orang (terutama orang kafir), yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Falsafah hidupnya hanya bertendensi duniawi hanyut bersama aliran syahwatnya.
Olehnya itu, di setiap pagi dan petang kita disunnahkan untuk membaca dzikir “Radhitu billahi Rabban, wabil Islami Diinan, wabi Muhammadin Nabiyyan” (HR. Muslim No. 386)) agar menjadi pengingat bahwa hidup ini untuk Allah, menegakkan agama-Nya dalam setiap tempat dan keadaan, serta tunduk dalam ajaran Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wasallam.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Riyadh, awal Rabiul awal 1431 H
Abu Ziyad al-Makassary
StumpleUpon DiggIt! Del.icio.us Blinklist Yahoo Furl Technorati Simpy Spurl Reddit Google Twitter FaceBook

Maaf, (kalau begitu) saya bukan “Salafi”

Manhaj salaf adalah sebuah manhaj yang diwariskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi terbaik ummat ini. Manhaj yang kamil (paripurna dan sempurna), syamil (universal), shafi (jernih) bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasulullah dan Ijma’ ummat ini.
Manhaj salaf, bukanlah milik individu, jama’ah, yayasan dan organisasi tertentu. Ia adalah manhaj yang hidup dalam kehidupan sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Manhaj yang difahami dan ditumbuh suburkan oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud –Radhiyallahu’anhum-. Manhaj yang karenanya sahabat Hamzah dan Mus’ab serta keluarga Yasir rela mengorbankan hidupnya, syahid di jalan Allah. Manhaj yang diwarisi oleh Sufyan al-Tsauri, Umar ibn Abd. Azis, Hasan al-Basri dan Annakha’i. Manhaj yang mewarnai pokok-pokok pikiran dan amalan Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Manhaj yang ditorehkan dengan tinta pena oleh Ibn Jarir, Ibn Katsir, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud. Dan masih banyak lagi, orang-orang terbaik dan terdepan di setiap lintasan waktu dan tempat.
Manhaj yang telah “pasti’ diridhai oleh Allah dan dipersaksikan oleh Nabi-Nya -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS. al-Taubah: 100)
عن عمران بن حصين رضي الله عنهما يقول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( خير أمتي قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم(  قال عمران فلا أدري أذكر بعد قرنه قرنين أو ثلاثا) متفق عليه
Artinya: Dari Imran Ibn Hasin –Radhiyallahu’anhuma- beliau berkata: Rasulullah –Shallallahu’alaihi wasallam- bersabda: “Sebaik-baik ummatku adalah masaku, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka”. Imran berkata: Aku tidak mengingat apakah aku menyebut dua atau tiga masa setelah masa beliau. (Muttafaqun’alaihi)
Manhaj yang mampu mengantarkan seorang hamba untuk memahami posisinya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di muka bumi ini. Hamba Allah yang telah berikrar dengan hati, lisan dan amalnya untuk senantiasa berada di jalan-Nya –sabilullah-. Berakidah tanpa penyimpangan, beribadah dan bermuamalah tanpa penyelewengan. Hidupnya lillah dan fillah (untuk Allah dan di atas jalan-Nya).
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. al-An’am: 162).
Pengikut manhaj salaf (baca: salafi), adalah seseorang yang berusaha untuk memurnikan ubudiyahnya hanya kepada Allah, dengan penuh keikhlasan dan ketaatan (ittiba’). Memahami hakikat tauhid, menjaga dirinya dari kesyirikan dan penyimpangan dari ajaran tauhid yang luhur. Ia sangat tahu bagaimana melahirkan nilai-nilai tauhid dalam kesehariannya. Ia tidak pernah ragu dalam ikhtiarnya, bahwa semuanya telah ditentukan oleh Allah. Apa yang ditakdirkan untuknya, sedikitpun tak akan pernah meleset. Dan apa yang tidak ditakdirkan, tidak akan sampai kepada dirinya walau sejuta usaha yang ia lakukan. Keridhoaanya karena Allah, kecintaannya karena Allah, dan kalaupun ia harus membenci, maka kebenciannya pun karena Allah.
Pengikut manhaj salaf, adalah seseorang yang berusaha mewarnai kehidupannya dengan adab dan akhlak yang mulia. Ia tidak hidup dalam dunianya sendiri (ekslusif), tidak hanya ramah dalam komunitasnya sendiri. Ia sangat tahu, bahwa manhaj ini harus ditularkan dan dicairkan dalam setiap ruang dan sudut kehidupan. Kepada yang tua, ia menjadi sosok yang hormat dan berbakti. Kepada si kecil, ia menjadi panutan yang diteladani. Kepada masyarakat, ia menjadi anggota yang berdedikasi tinggi, tanpa pembatas, mengayomi dan memahami kehidupan sekitar. Ia merindukan aturan bermasyarakat dan sistem pemerintahan  yang bersendikan ajaran Islam. Ia berdakwah dan berjuang untuk tegaknya “kalimatullah” di bumi Allah.
Lantas mengapa saat ini, sebagian orang-orang di sekitar kita merasa “alergi”, “risih” bahkan “takut” (baca: phobia) dengan orang-orang yang “mendeklarasikan” dirinya sebagai seorang “salafi”?. Apa yang salah? Manhajnyakah yang salah atau personnya?. Mengapa setiap disebut kata “salafi” yang tergambar adalah sosok yang mudah menyalahkan, dan membid’ahkan orang yang berselisih dengannya?. Yang hanya membatasi diri dengan kajian ustadz si fulan dan si fulan. Hanya membaca kitab dan fatwa ulama ahlussunnah tertentu. Jauh dari sikap tawadhu dan penghargaan terhadap orang lain. Alih-alih menjadi orang yang berada di tengah dengan sikap washatiyahnya, justru ia terpinggirkan dan terisolasi, hanya pada komunitas dan jama’ah tertentu. Jalan-jalan, tempat keramaian, sarana pendidikan, sarana kesehatan,  sarana bisnis, sarana media dan informasi masih jauh dari warna yang pernah eksis dan dirindukan oleh para guru dan panutan kaum salaf.
Kalau seseorang zuhud yang gemar mentazkiyah dirinya dari penyakit hati dan sifat tercela, berburuk sangka kepada sesama, dikatakan sebagai “sufi”. Maka biarlah, dalam hal ini saya menjadi sufi dan bukan salafi.
Kalau seseorang yang gemar berdakwah fardiyah yang selalu “risau’’ dengan keadaan ummat yang jauh dari masjid dan amalan-amalan sunnah lainnya, mengajak pelaku maksiat untuk tobat dan berubah kea rah yang “sedikit” lebih baik dikatakan sebagai “tablighi”, maka biarlah saya dicap sebagai tablighi dan bukan seorang salafi.
Kalau seseorang yang rindu akan tegaknya syariat Islam di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, mengembalikan sistem bernegara ke pangkuan khilafah  dituduh sebagai seorang “tahriri” maka biarlah saya berada dalam posisi seorang tahriri dan bukan seorang salafi.
Kalau seseorang yang kerap berusaha menasehati pemerintah, mengungkap dan menjelaskan penyimpangan pemerintah berkuasa, memilih jalan menerima tawaran masuk ke dalam shaf  pemberi kebijakan untuk bermar ma’ruf nahi mungkar dikatakan sebagai seorang “ikhwani”. Maka biarlah saya menjadi seorang ikhwani dan bukan salafi.
Kalau seseorang yang berusaha menawarkan manhaj salaf dengan cara yang lebih modern, lebih humanis, lebih membumi, lebih menyentuh kepada hajat hidup orang banyak, dituduh sebagai seorang “sururi” . Maka biarlah saya menjadi seorang sururi murni dan bukan salafi.
Maaf, (kalau begitu) saya bukan “salafi”, karena saya yakin bahwa soko guru kaum salaf tidak pernah mengajarkan bahwa manhaj ini adalah kavling dan milik seseorang, jama’ah dan gerakan tertentu. والله أعلم بالصواب

StumpleUpon DiggIt! Del.icio.us Blinklist Yahoo Furl Technorati Simpy Spurl Reddit Google Twitter FaceBook