اللهم
إني أستخيرك بعلمك, وأستقدرك بقدرتك, وأسألك من فضلك العظيم، فإنك تقدر
ولا أقدر، وتعلم ولا أعلم، وأنت علام الغيوب، اللهم إن كنت تعلم أن هذا
الأمر – ويسمي حاجته – خير لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري (أو قال : عاجله
وآجله) فاقدره لي ويسره لي ثم بارك لي فيه، وإن كنت تعلم أن هذا الأمر شر
لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري (أو قال : عاجله وآجله)، فاصرفه عني واصرفني عنه واقدر لي الخير حيث كان ثم أرضني به.
Artinya:
“Ya
Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu, dengan
ilmu-Mu, dan aku memohon kuasa-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan
kekuasaan yang Engkau miliki. Aku memohon anugrah-Mu yang luas,
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa sedangkan aku tidak memilki kuasa, Engkau
Maha Tahu sedang aku tidak mengetahuinya, dan Engkau Maha Mengetahui
perkara-perkara ghaib. Ya Allah apabila Engkau mengetahui bahwa urusan
ini …. (disebutkan hajatnya), baik untuk agamaku, kehidupanku dan
penghujung urusanku (atau beliau berkata: dunia dan akhirat) maka
takdirkanlah ia untukku, mudahkanlah urusannya, kemudian berkahilah aku
dalam menjalaninya. Tetapi,
apabila Engkau Mengetahui bahwa urusan ini berbahaya untuk agamaku,
kehidupanku dan penghujung urusanku (atau beliau berkata: dunia dan
akhirat) maka jauhkanlah ia dariku, dan jauhkanlah diriku darinya, dan
takdirkanlah yang lebih baik untukku di mana saja kebaikan itu berada,
kemudian ridhoilah tatkala menjalaninya”. (HR. al-Bukhori No. 1109)
Manusia adalah makhluk yang lemah, tak memiliki kuasa terhadap segala urusan hatta
yang menyangkut dengan dirinya sendiri. Ketika ia diperhadapkan oleh
sebuah masalah yang mengharuskan untuk memilih, terkadang ia tak bisa
memutuskan, ia merasa bimbang dan ragu.
Olehnya
itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita do’a
istikharah yaitu permohonan kepada Allah untuk memberikan petunjuk
tentang urusan, masalah yang dihadapi. Do’a ini dianjurkan untuk dibaca
pada saat setelah melaksanakan sholat dua rakaat (selain sholat fardhu) sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu’alaihi wasallam tatkala mengajarkan do’a ini:
“Dari
Jabir Radhiyallahu’anhu beliau berkata: Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam mengajarkan kami istikharah (do’a minta petunjuk) dalam segala
urusan sebagaimana beliau mengajarkan satu surah dalam al-Qur’an.
Beliau berkata: “Apabila salah seorang diantara kalian mennghadapi
masalah yang membuatnya bimbang hendaklah ia sholat dua raka’at seklain
sholat fardhu kemudioan hendaklah ia berdo’a….” (HR. al-Bukhori No.
1109)
Sebagaimana do’a ini juga bisa dibaca sesaat sebelum salam dalam sholat dua raka’at seperti yang disebutkan tadi setelah membaca do’a tasyahhud akhir.
Beberapa pelajaran penting dari do’a ini:
Pentingnya berdo’a dalam setiap keadaan.
Do’a
adalah senjata seorang muslim, semakin sering ia meminta kepada Allah,
maka Allah semain senang dengan permohonannya. Allah murka terhadap
hamba-Nya yang melalaikan do’a kepada-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
“Siapa yang tidak berdo’a kepada Allah, Maka Dia murka kepada-Nya” (HR. al-Turmudzi: 3373)
Berdo’a
mengisyaratkan kebutuhan kita akan pertolongan Allah Ta’ala. Disamping
itu, dengan berdo’a tentunya ia telah menjaga hubungannya dengan
al-Khaliq Azza Wa Jalla.
Do’a
disyariatkan dalam segala keadaan, baik tatkala kita senang, bahagia
apalagi ketika kita berda dalam kesulitan dan ditimpa musibah.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Ingatlah Allah dikala sukamu niscaya Dia mengingatmu dikala dukamu” (HR. Ahmad No. 2804)
Allah Maha Berkuasa terhadap urusan hamba-Nya.
Apapun
yang terjadi dalam diri seorang hamba, semuanya adalah kehendak Allah,
baik hal itu menyenangkan atau menyulitkan. Olehnya itu, diantara
rukun Iman yang wajib diyakini dan diamalkan adalah beriman kepada
takdir baik dan buruk. keimanan terhadap rukun ini akan melahirkan
sikap husnudzan (berbaik sangka) kepada Allah Ta’ala. Dalam hadits Qudsi disebutkan:
“Sesungguhnya Aku mengikut terhadap persangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku (HR. al-Bukhori No. 6907)
Begitujuga
dengan perbuatan seorang hamba, ia diatur dan dibentuk sesuai dengan
takdir dan kehendak-Nya, Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Dan Allah Yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat” (QS. al-Shaffaat: 96).
Tetapi
hal ini tidak menutup pintu ikhtiar seorang manusia. Kita tetap
diperintahkan berusaha dan berupaya terhadap segala hal, namun semuanya
kita pasrahkan kepada Allah Ta’ala karena segala sesuatu terjadi dengan
kehendak-Nya. Rasulullah menggambarkan bagaimana sikap tawakkal yang
disertai dengan ikhtiar seperti seekor burung, beliau bersabda:
“Kalau
seandainya kalian bertawakkal dengan tawakkal yang sebenarnya, niscaya
Allah akan mencurahkan rezeki-Nya kepada kalian, sebagiamana seekor
burung yang terbang dari sarangnya pada pagi hari dalam keadaan lapar
dan pada petang hari ia pulang dalam keadaan kenyang” (HR. Ahmad No. 205)
Hal
ini juga tidak bermakna seseorang dilarang meminta pendapat dan saran
serta pertimbangan orang lain, justru perkara ini disyariatkan dalam
agama, Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan
bermusyawarahlah dengan mereka (para sahabat) dalam urusan itu. Bila
kamu membulatkan tekad, bertawakkah kepada Allah” (QS. Ali Imran: 159).
Pilihan Allah yang terbaik.
Bagi
seorang muslim pilihan Allah adalah yang terbaik. Apa yang ditakdirkan
oleh Allah, sesuai dengan keinginan kita ataupun tidak itulah yang
terbaik. Terkadang baik menurut kita tetapi dalam pandangan Allah justru
akan mendatangkan kemudharatan, begitu juga sebaliknya. Allah
berfirman yang artinya:
“Dan
boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal itu amat baik buat kalian,
dan boleh jadi kalian menyenangi sesuatu padahal itu amat buruk buat
kalian. Allah Maha Mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui” (Qs.
al-Baqarah: 216)
Sikap seperti inilah yang akan membimbing setiap muslim menuju puncak maqam (kedudukan) ar-ridho
kepada Allah dalam setiap musibah dan kesulitan yang ditakdirkan
untuknya. Ia tidak sekedar hanya bersabar tetapi lebih dari pada itu ia
seakan-akan “menikmati” musibah dan ujian itu, karena dalam keyakinannya itulah yang terbaik.
Mendahulukan kepentingan agama dalam setiap urusan kita.
Persoalan
agama haruslah ditempatkan di atas segala-galanya, jangan sampai hanya
sekedar mencari kebahagian dunia yang bersifat sementara justru
mengorbankan kepentingan agama dan akhirat kita yang bersifat permanen.
Jangan sampai kita terjebak dalam gaya hidup sebagian orang (terutama
orang kafir), yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Falsafah hidupnya hanya bertendensi duniawi hanyut bersama aliran
syahwatnya.
Olehnya itu, di setiap pagi dan petang kita disunnahkan untuk membaca dzikir “Radhitu billahi Rabban, wabil Islami Diinan, wabi Muhammadin Nabiyyan”
(HR. Muslim No. 386)) agar menjadi pengingat bahwa hidup ini untuk
Allah, menegakkan agama-Nya dalam setiap tempat dan keadaan, serta
tunduk dalam ajaran Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wasallam.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Riyadh, awal Rabiul awal 1431 H
Abu Ziyad al-Makassary