“Hiduplah engkau di dunia ini seperti orang asing atau seorang yang melintas sebuah jalan” (HR.
al-Bukhori).
Begitulah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
mengilustrasikan hidup ini sebagai sebuah perjalanan. Roda kehidupan ini
terus berputar dan bergelinding
tanpa henti, yang lalu tak akan pernah kembali, bahkan detik ini pun
sudah pasti akan meningggalkan kita sesaat ketika detik berikutnya telah
sampai.
Tapi
perjalanan panjang juga membutuhkan persinggahan untuk berhenti. Di
saat sang musafir berhenti, banyak hal yang bisa dilakukan selain
sekedar untuk melepas lelah, memberikan hak badan untuk sejenak
beristirahat. Pada saat yang sesaat inilah, ia dapat menyusun rencana
dan strategi baru, melakukan muhasabah terhadap perjalanan yang telah
dilalui, mengumpulkan spirit dan semangat yang mungkin telah berkurang,
menata diri untuk lebih siap dan tahan banting menghadapi situasi dan
kondisi yang mungkin tak terduga. Itulah sebabnya kenapa seorang yang
banyak melakukan dan merasakan asam garam perjalanan, biasanya lebih
dapat bertahan dalam menghadapi kondisi hidup yang sangat sulit
sekalipun. Dalam sebuah bait sya’ir, Imam Syafi’i pernah berkata: “Berjalanlah niscaya akan engkau dapatkan pengganti apa yang engkau tinggalkan, berletih-letihlah karena sungguh nikmat hidup terasa dalam keletihan”(Diwan Syafi’i, Da’wah ila al-tanaqqul wa al-tirhal 1/3) ).
Saudaraku!
Begitu
juga dengan ibadah, ia ibarat rentetan perjalanan jauh yang
membutuhkan mujahadah yang tinggi dan nafas panjang. Sebab ibadah yang
berkwalitas adalah ibadah yang jauh dari sekedar melaksanakan rutinitas
belaka serta menggugurkan tanggung jawab kita sebagai seorang
mukallaf. Disadari, terkadang rutinitas ibadah justru menghilangkan
sentuhan makna ruhaniyah yang terkandung di dalamnya, ia melahirkan
kejenuhan, sehingga pelaksanaannya terkesan seadanya tanpa meninggalkan
bekas yang berarti. Padahal setiap kita dituntut untuk memelihara
identitas keislaman kita secara utuh, secara konsisten hingga ajal
menjemput. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sembahlah Tuhanmu hingga datang keyakinan (kematian)”
(QS al-Hijr: 99), semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang
terus berusaha menjaga keshalehan hingga desahan nafas yang terakhir.
Saudaraku!
Di
saat dilanda kejenuhan inilah, seorang hamba perlu untuk singgah
sejenak, berhenti sesaat, menghadirkan semangat baru, menghadirkan
sentuhan keimanan yang mungkin telah kendur, bahkan mungkin terkikis
tajam hingga hampir tak tersisa, berusaha menata kembali formasi
keshalehan walau sebentar, mungkin seperti ungkapan sahabat yang mulia
Muadz bin Jabal Radhiyallahu’anhu : “Mari sejenak kita beriman” (Disebutkan oleh al-Bukhori dalam muqaddimah Kitab al-Iman dari Shahih al-Bukhari)
Saudaraku!
Hampir tak terasa perjalanan setahun mengantarkan kita untuk sampai di dekat sebuah persinggahan imaniyah
tahunan, persinggahan yang sangat dinantikan oleh setiap muslim,
pecandu dan penikmat ibadah, perindu malam-malam munajat, yang
melahirkan kerinduan yang tak terhingga akan nikmat syurga Ilahi serta
menghadirkan rasa takut akan adzab dan siksa neraka. Hari-harinya diisi
dengan shiyam, mengekang gejolak syahwat perut dan hasrat
seksual manusiawi, menahan dahaga walaupun terik matahari siang begitu
melelahkan. Malam-malamnya tak kala syahdu, lantunan-lantunan kalam
Ilahi menggetarkan jagad raya lewat tilawah dan qiyam, do’a mengalir
laksana air mengalir tak henti memohon kebaikan duniawi dan ukhrowi. Bahkan tidurpun begitu nikmat karena menunggu jeda kegembiraan yang tak terukur. Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Bila
malam pertama Ramadhan tiba, syetan-syetan dan jin-jin jahat
dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tidak satupun yang dibuka,
pintu-pintu syurga dibuka dan tidak satupun yang ditutup. Di saat itu
terdengar seruan: “wahai perindu kebaikan! Hadir dan datanglah!, wahai
pencinta kejahatan! Pergi dan menjauhlah!” (HR. Ibnu Majah no. 1646 disahihkan oleh al-Bani).
Saudaraku!
Di persinggahan ini kita diajak membuka mata dan hati, meilhat di sekeliling kita, ternyata kita hidup tidak sendiri. Begitu
banyak saudara-saudara kita yang perlu untuk dibantu dan ditolong
untuk memaknai hidup agar lebih berarti. Di persinggahan ini kita
dianjurkan untuk banyak berbagi, berbelas kasih bersama kaum fakir dan
miskin walaupun hanya dengan seteguk air dan sepotong kue. Percayalah
sobatku! Di persinggahan ini kita mampu menyelami lautan makna sabda
Rasulullah : “Perumpamaan orang-orang beriman dalam rasa cinta,
tolong menolong, kasih sayang di antara mereka ibarat satu tubuh,
apabila salah satu anggota tubuh tersebut merasa sakit maka bagian yang
lain juga merasakan sakit tersebut sehingga tak dapat tidur dan
mengalami demam” (HR. Muslim no. 6751)
Bayangkanlah
wahai saudaraku! Kalau seandainya si fakir yang terus menerus menahan
perih kelaparan, si miskin yang serba kekurangan, si yatim yang
merindukan belaian kasih sayang ayah dan ibu, si janda yang butuh
perlindungan seorang suami, itu adalah diri kita, kita berada dalam
posisi mereka, sungguh hati ini begitu gembira tak kala ada sesama yang peduli dan berbagi. Wajarlah, jika baginda Nabi berubah menjadi orang yang paling dermawan di persinggahan ini.
Saudaraku!
Persinggahan
ini juga mengajarkan kepada kita bahwa kita harus berubah ke arah yang
lebih baik. Perubahan itu begitu jelas nyata di persinggahan ini,
semuanya tiba-tiba berubah. Pola makan minum, gaya hidup, bahkan
kwalitas ketaatan kepada Allah juga mengalami perubahan yang sangat
drastis. Pola hidup yang serba
glamour dapat dirubah menjadi hidup lebih sederhana, sifat ketamakan
dan kerakusan dapat dirubah menjadi kesyukuran dengan sifat qona’ah
(merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh Allah). Sifat keangkuhan
dapat dirubah dengan sifat tawadhu’ dan rendah diri. Jauh dari tuntunan
agama dapat dirubah menjadi ketaatan walaupun setahap demi setahap.
Tidak
ada yang mustahil bagi Allah saudaraku!, semuanya dapat dirubah dengan
idzin dan taufik-Nya. Tinggallah kita mau memanfaatkan momentum
perubahan ini atau tidak. Hidup akan lebih indah dan bermakna kalau disertai tekad untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Saudaraku!
Ketahuilah,
bahwa persinggahan ini hanya berbilang hari, persinggahan ini hanya
sebentar dibandingkan perjalanan setahun, hanya sesaat dibandingkan usia
yang diberikan oleh Allah kepada kita. Entah, kita tidak dapat
memastikan, apakah tahun depan kita dapat sampai lagi di persinggahan
ini atau tidak?. Cuma Allah Yang Maha Tahu.
Benar, wahai saudaraku! persinggahan ini adalah persinggahan Ramadhan, bulan mulia penuh berkah, ampunan dan rahmat.
Ya
Allah sampaikanlah kami untuk merasakan nikmatnya karunia Ramadhan,
kuatkanlah kami untuk dapat melaksanakan tuntunan-Mu di bulan yang
engkau ridhai ini.
Ya
Allah jadikanlah bulan ini menjadi persinggahan kami yang paling
berarti, jangan Engkau jadikan kami menjadi orang yang lalai di
detik-detik mulia nan berharga ini. Amin.
Awal Sya’ban 1430 H.
Ahdy al-Makassary