Siapa yang tidak kenal Fir'aun?, sosok manusia yang namanya diabadikan oleh Allah berkali-kali dalam al-Qur'an melebihi
penyebutan nama dan kisah sebagian dari pada Nabi dan Rasul-Nya. Bukan
karena prestasi ketaatan dan ketundukan, tapi karena sederet kisah
kesombongan, keangkuhan, kebengisan dan hal-hal keji yang lain yang
sulit untuk dirangkai dengan kata-kata sederhana.
Dengan segala kesombongan ia memproklamirkan dirinya adalah tuhan yang patut disembah, seraya menafikan Rab Yang Maha Mulia. "Dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagi kalian selain aku" (al-Qashash: 38) . Sebagai penguasa, ia mengklaim bahwa Mesir dan seluruh kekayaannya berada dan tunduk dalam kekuasaanya. "Dan
Fir'aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: "Hai kaumku, bukankah
kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini
mengalir di bawahku, maka apakah kalian tidak melihatnya?"
(al-Zukhruf: 51). Bahkan dengan segala kekuatan yang dimilikinya,
diktator nomor wahid ini melarang seseorang untuk berpaling darinya dan
beriman kepada Allah Yang Haq kecuali dengan izinnya yang disertai dengan ancaman-ancaman yang menakutkan. "Berkata
Fir'aun: "Apakah kalian telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku
memberi izin kepada kalian…… Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan
dan kaki kalian dengan bersilang secara bertimbal balik dan aku akan
menyalib kalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kalian akan
mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal
siksaanya" (Thaha: 71). Di ayat yang lain, "Fir'aun berkata:
"Sungguh jika kamu menyembah selain aku, benar-benar aku akan menjadikan
kamu salah seorang yang dipenjarakan" (al-Syu'araa: 29).
Lebih dari itu, terkadang dengan santainya ia melecehkan uluhiyah dan rububiyah al-Khaliq Yang Maha Tinggi dan Agung. "Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, bangunkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu. (Yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sungguh aku menyangka ia adalah seorang pendusta"
(al-Mu'min: 36-37). Tentu Fir'aun tidak sedang serius ketika
mengucapkan kalimat ini, karena Haman (sang mentri) pasti tidak mampu
mengerjakan proyek bualan ini, tetapi ia ingin melecehkan Allah Yang
Maha Tinggi Lagi Maha Agung. Na'udzu billah min dzalik.
Kalau kapada Allah Ta'ala saja dengan mudahnya ia lecehkan, maka apalagi hanya dengan utusan-Nya (Musa 'Alaihissalam). "Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak mampu menjelaskan (perkataannya)"
(al-Zukhruf: 52). Bahkan, terkadang ia menampakkan rasa iba dan
simpati kepada rakyatnya untuk mencari pembenaran untuk menghukum
bahkan membunuh Musa 'Alaihissalam yang dianggapnya sebagai pembangkang
dan penghalang kekuasaannya. "Dan berkata Fir'aun: "Biarkanlah aku
membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena
sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agama kalian dan menimbulkan
kerusakan di muka bumi" (al-Mu'min: 26).
Inilah
secuil dari deretan kisah kedurhakaan Fir'aun yang berulang-ulang
disebutkan di dalam berbagai surah dalam al-Qur'an. Maka sangatlah amat
wajar jika segala umpatan dan cacian kasar dialamatkan kepadanya.
Tetapi
manhaj Ilahi tetaplah manhaj yang tetap kekal dan segar tanpa harus
mengalami pergeseran makna. Manhaj yang mengajarkan kepada kita
keluhuran budi pekerti, sopan santun dalam berbuat, berprilaku dan
berkata-kata. Manhaj ini bukanlah sekedar untaian kata-kata indah, bukan
teori yang muluk-muluk, melainkan manhaj yang harus diterjemahkan
secara nyata dalam lapangan kehidupan. Ia harus menjadi warna yang cerah
di tengah warna-warni yang kelam. Ia adalah manhaj yang sangat berpihak dan paling memahami fitrah kemanusiaan di tengah-tengah carut marutnya qanun wadh'iy (aturan manusia) yang konon katanya paling faham arti hak asasi manusia dengan segala embel-embelnya.
Tetapi, dengan segala keburukan track record
yang dimiliki oleh Fir'aun, Allah mengutus kepadanya Nabi Musa dan
Harun 'Alaihimassalam untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan penuh
kesantunan, kearifan dan kelembutan tanpa harus mengikis mabda' (prinsip dasar) yang diyakini kebenarannya. Allah Ta'ala berfirman : "Pergilah
kalian berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.
Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut" (Thaha: 43-44). Dalam ayat yang lain, "Pergilah
kamu kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Dan
katakanlah : "Adakah keinginan pada dirimu untuk membersihkan diri (dari
kesesatan)" (al-Nazi'at: 17-18).
Inilah manhaj al-Rifq,
manhaj yang mengajarkan kepada kita bersikap santun dalam berbuat dan
berkata-kata. Bersikap santun dengan mengedepankan akhlaq mulia.
Bersikap santun dalam mencarikan solusi yang terbaik dan termudah.
Bersikap santun dalam memahami tabiat dan karakter orang lain. Begitulah
ruang lingkup makna al-rifq seperti yang dikemukakan penulis kamus Mukhtar al-Shihah.
Dalam sirah
Sang Panutan Shallallahu'alaihi wasallam, betapa terasa manhaj ini
hadir dan terus mengalir dalam berbagai kondisi dan obyek dakwah. Betapa
tidak, beliau menjadi penengah yang bijak takkala seorang arab badui
(yang memang bertabiat kasar) kencing di salah satu pojok mesjid tanpa
merasa bersalah. Beliau menjadi guru yang sangat santun ketika
mengajarkan sahabat Muawiyah ibn Hakam yang terjatuh dalam kesalahan
–yaitu berbicara- ketika sholat telah dilakukan. Bahkan, kepada pemuda
yang datang meminta izin kepadanya untuk berzina, Beliau manjadi
pendengar yang baik dan santun sekaligus memberikan solusi logis yang
tak terbantahkan. Bahkan suatu ketika, beliau menceritakan kisah seorang
wanita yang diazab oleh Allah karena menyiksa dan tidak bersikap
santun kepada seekor kucing.
Sunguh tepat kalau Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Hendaklah
engkau bersikap lembut dan hindarilah bersikap keras dan kasar, karena
tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan menambah indah
sesuatu itu, dan tidaklah (kelembutan) itu dicabut dari sesuatu kecuali
akan menambah jelek sesuatu itu" (HR. Muslim). Dalam sabdanya yang lain Beliau berkata: "Barang siapa yang tidak memiliki kelembutan maka ia diharamkan dari seluruh kebaikan" (HR. Muslim). Teori dan aplikasi kesantunan yang luar biasa yang wajib dicontoh oleh setiap muslim.
Dalam dunia dakwah, betapa setiap da'i sangat membutuhkan kehadiran al-rifq dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Ia membutuhkannya ketika ia berhadapan dengan orang tua, muda bahkan kepada anak kecil, kepada pendosa apalagi kalau memang sudah taat, hatta
kepada siapapun, karena manusia tetaplah manusia, sebejat apapun ia
masih memiliki perasaan yang bertemu dalam satu titik, semua ingin
diperlakukan secara santun, bukan dengan sikap kasar apalagi sampai
mencaci dan mengumpat.
Kiranya,
wejangan Sufyan al-Tsauri Rahimahullah patut untuk dijadikan pijakan,
beliau berkata: "Seseorang tidak pantas untuk beramar ma'ruf nahi
munkar kecuali jika telah memenuhi tiga karakteristik, bersikap lembut
terhadap apa yang ia serukan
dan ia larang, bersikap adil terhadap yang ia serukan dan ia larang dan
berilmu terhadap yang ia serukan dan ia larang". Allah Ta'ala
berfirman: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka" (al-Imran: 159). Wallahua'lam.
oleh: Ahmad Hanafi
oleh: Ahmad Hanafi
Bookmark this post: |